Biografi tentang Jendral Soedirman
“Masyarakat
menyebutnya sesepuh atau orang sakti. Saya tidak tahu kalau yang tinggal di
rumah itu Panglima Besar Jenderal Soedirman. Hampir setiap
pagi, saya dipanggil ‘sesepuh’ untuk sarapan bubur. Karena dalam kondisi sakit,
‘sesepuh’ di luar kesibukannya mengatur strategi perang, dan memberi amanat,
beliau setiap pagi berjemur sinar matahari. Ajudan beliau ketika itu Soepardjo
Rustam dan Tjokro Pranolo atau waktu itu dipanggil Pak Noli,” kata Padi mengenang.
Cerita tentang Jenderal Soedirman yang kita
dengar dan baca baik dari mata pelajaran sejarah ketika SD dahulu maupun versi
kekinian tentang siapa dan bagaimana peranan beliau dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji.
Cerita perang gerilya Jenderal Soedirman, jenderal terbaik sepanjang sejarah Indonesia,
yang berjuang sampai titik darah penghabisan. Lantas, pernahkah kita mau
belajar sedikit saja dari keteladanan Jenderal Soedirman? Ini saatnya kembali berbagi cerita
Mengenang Jenderal Soedirman
di Pacitan
Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, kini
mempunyai obyek wisata sejarah berkelas internasional, menyusul diresmikannya
Pengembangan dan Revitalisasi Kawasan Wisata Sejarah Panglima Besar Jenderal
Besar Soedirman, Senin (15/12) petang di Pakis Baru, Kecamatan Nawangan.
Di kawasan wisata sejarah
ini, salah satu yang menarik adalah sebuah rumah yang dijadikan Markas Gerilya
oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. Rumah milik Karsosoemito, seorang
bayan di dukuh sobo ini, selama 3 bulan 28 hari (107 hari), sejak tanggal 1
April 1949 sampai 7 Juli 1949, digunakan sebagai markas oleh Panglima Besar
Jenderal Besar Soedirman.
“Sebelum sampai di rumah Karsosoemito, Jenderal
Soedirman menginap di rumah Jaswadi Darmowidodo, Kepala Desa Pakis ketika itu,
yang berjarak 7 kilometer dari Dukuh Sobo. Di Rumah Markas Gerilya ini Jenderal Soedirman bersosialisasi dan bergabung
dengan masyarakat setempat,” kata Direktur Permuseuman Direktorat Sejarah dan
Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Intan, Senin (15/12) di Sobo.
Dikatakan, Jenderal Soedirman sampai di Pakis
Baru, Nawangan, Kabupaten Pacitan, setelah hampir 7 bulan bergerilya keluar
masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung. Kalau Anda berkunjung
ke rumah bersejarah ini, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dahsyatnya
perjuangan Jenderal Soedirman. Medan jalan yang berkelok-kelok, naik-turun
pebukitan dengan jurang yang dalam di salah satu sisi jalan.
Tentu saja alam sekitar yang indah dan berudara
sejuk, bahkan mungkin dirasakan sebagian orang sebagai sangat dingin. “Dari
arah mana pun perjalanan menuju Pakis Baru, yang dirasakan adalah jalan yang
penuh tantangan. Kita bisa merasakan betapa gigihnya perjuangan Jenderal Besar
Soedirman, walau dalam kondisi sakit-sakitan,” kata Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono.
Markas Gerilya Jenderal
Soedirman ini terletak 32 km arah timur dari pusat pemerintahan di Kabupaten
Pacitan. Dapat ditempuh dengan kendaraan mobil selama satu jam perjalanan.
Rumah ini juga dapat ditempuh dari Kota Solo, Jawa Tengah, dengan perjalanan darat
selama kurang lebih 3 jam. Atau melalui Yogyakarta selama 4 jam perjalanan.
Tidak jauh dari Markas Gerilya ini, sekitar 2 km, terdapat kompleks Monumen
Patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman yang sangat megah.
“Pada tahun 2008 telah dilakukan konservasi dan
penyempurnaan terhadap patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman dan rumah
bersejarah Markas Perang Gerilya ini,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Jero Wacik.
Selalu berkomunikasi
Tentang Markas Gerilya ini,
Direktur Permuseuman Ditjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar, Intan, mengatakan,
Jenderal Soedirman menjadikannya sebagai tempat bersosialisasi dan bergabung
dengan masyarakat setempat. Selain itu, beliau melakukan aktivitas secara
teratur, serta dapat mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah di
Yogyakarta.
“Kegiatan Beliau di rumah
ini antara lain menyusun perintah-perintah harian serta petunjuk dan amanat,
baik untuk tentara maupun masyarakat,” katanya.
Dari rumah yang dijadikan Markas Gerilya ini,
Jenderal Soedirman selalu berkomunikasi dengan para panglima dan komandan di
berbagai daerah yang dilakukan melalui caraka (kurir). Menurut seorang saksi
mata, Padi (66), anak dari Karsosoemito, pemilik rumah, yang ketika itu berusia
7 tahun, banyak komandan pasukan maupun pejabat pemerintahan yang datang ke
Sobo untuk minta petunjuk “sesepuh”.
“Masyarakat menyebutnya sesepuh atau orang
sakti. Saya tidak tahu kalau yang tinggal di rumah itu Panglima Besar Jenderal
Besar Soedirman. Hampir setiap pagi, saya dipanggil ‘sesepuh’ untuk sarapan
bubur. Karena dalam kondisi sakit, ‘sesepuh’ di luar kesibukannya mengatur
strategi perang, dan memberi amanat, beliau setiap pagi berjemur sinar
matahari. Ajudan beliau ketika itu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo atau
waktu itu dipanggil Pak Noli,” kata Padi mengenang. Ia sekarang jadi penjaga
Markas Gerilya ini, dengan gaji bulanan total sebesar Rp750.000.
Lebih jauh Direktur Permuseuman Intan
mengatakan, di Markas Gerilya ini Jenderal Besar Soedirman sibuk mengatur
komunikasi dengan para petinggi militer. Melalui Letkol Soeharto, Jenderal
Soedirman juga berkomunikasi intensif dengan Sri Sultan HB IX di Yogyakarta.
“Setelah Perjanjian Roem-Royen disahkan pada tanggal 7 Mei 1949 dan Pemerintah
Indonesia-Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan, maka Panglima Besar
Jenderal Soedirman merencanakan untuk kembali ke Yogyakarta. Akhirnya 7 Juli
1949, setelah dibujuk oleh berbagai pihak, Panglima Besar Jenderal Besar
Soedirman meninggalkan rumah ini, kembali menuju Yogyakarta,” jelasnya.
Ada apa di Markas?
Sebagai rumah bersejarah,
wisatawan bisa melihat situasi dan kondisi rumah yang dijadikan Markas Perang
Gerilya ini. Rumah yang menghadap ke arah utara ini terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian depan yang disambungkan dengan bagian belakang. Rumah bagian depan
berbentuk empat persegi panjang, berukuran 11,5 x 7,25 meter persegi, sedangkan
rumah bagian belakang berukuran 10,2 x 7,3 meter persegi.
Rumah ini berlantaikan tanah liat. Rumah bagian
depan dindingnya terbuat dari papan kayu (gebyok). Sementara rumah bagian
belakang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Pada ruangan depan
terdapat 2 buah pintu, dan terdapat tiang-tiang kayu yang menyangga konstruksi
atap. Di ruangan ini juga terdapat 4 buah kamar tidur, yang salah satunya
merupakan kamar tidur Panglima Besar Soedirman. Kamar tidur lainnya pernah
ditempati ajudan Beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo.
Di masa gerilya di ruangan rumah terdapat satu
set meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu serta balai-balai dari bambu. Ruang
bagian belakang, yang diduga dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat penyimpanan
berbagai peralatan, tidak terdapat kamar. Pada rumah bagian belakang ini juga
terdapat tiang-tiang serta terdapat sebuah pintu. Atap rumah berbentuk dua buah
limasan yang disambungkan dengan talang di tengahnya. Genting penutup atap
rumah terbuat dari tanah liat.
Untuk lebih memberikan
informasi tentang arti penting rumah bersejarah Markas Gerilya ini,
di dalam rumah kini dilakukan penataan berupa pemasangan papan informasi, foto
koleksi, dan perabotan. Di depan rumah disajikan sekilas tentang sejarah dan
rute Perang Gerilya, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta.
Di rumah bagian depan,
dipamerkan kamar tidur Panglima Besar Soedirman, serta foto-foto Beliau
ketika foto bersama dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini. Juga foto
ketika berangkat bergerilya dan ketika Beliau pulang ke Yogyakarta.
Selain itu, di runag depan
juga disajikan tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan
Beliau. Di ruang bagian belakang terdapat peralatan audiovisual, untuk
menyaksikan tayangan tentang Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman.
0 comments:
Post a Comment