Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Dilahirkan dari keluarga Kesultanan
Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih
dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus
tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko
dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa
perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena
beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya,
rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya sendiri.
Kejujuran,
kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan,
itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan
perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785,
ini.
Pangeran
Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan
atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku
Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda
yang melahirkannya bukanlah permaisuri.
Bagi
orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan.
Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan.
Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada
Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa
yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam
penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.
Namun
sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau
menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau
ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya
semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin
besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang
dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja
Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan
kepahlawanan beliau.
Sebagaimana
diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik
‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat,
bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua
bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin
banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri
kincir angin itu.
Melihat keadaan
demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan memutuskan
meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya
yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada
tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan
demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam perang di
Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya mulai
membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya
dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit
dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama
membuat pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.
Namun setelah
Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang sudah
dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas
sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang
mengadakan perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun
1829 perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.
Belanda yang
sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan berbagai
cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya
semakin melemah.
Karena berbagai
cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan licik
dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding,
dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke
tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas
niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan
tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini.
Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan
dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah kurang
lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada
tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana.
Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada
kejaliman manusia.
0 comments:
Post a Comment